FILOSOFI SEMUT



Tak hanya sekali ini ia menemukan banyak sekali semut di tempat ia biasa menyimpan gula. Heran, bagaimana bisa semut-semut ini masuk padahal ia ingat sekali telah menutup tempat itu rapat-rapat.

Yah, semut kan hewan yang ulet banget, pikirnya.

Tak hanya sekali ini ia menumpahkan seluruh gula dari tempatnya demi mengeluarkan semut-semut yang berlari tak terarah, tak terjalur. Takjub, bagaimana bisa hewan yang biasanya selalu berbaris rapi ini sekarang seakan terombang-ambing padahal mereka berada di-hm, bisa kita sebut dengan-surga mereka. Tempat dimana kesenangan mereka berada.

Yah, kali aja mereka kolaps, kebanyakan seneng-seneng. Makanya oleng, pikirnya lagi.

Namun baru sekali ini ia menemukan banyak sekali semut yang mati tertimbun gula. Biasa memang, toh, setiap jiwa akan merasakan maut. Tak terkecuali beberapa ekor semut yang kini telah dijemput maut.

Namun otak kritis khas mahasiswa-nya tak tinggal diam.

Kesampingkan fakta bahwa semut-semut itu mati karena kehabisan stok oksigen di dalam sana. Dan munculkan kembali fakta bahwa mereka mati tertimbun gula. Ya, tertimbun gula. Mati tertimbun kesenangan mereka. Ia berpikir keras. Mencoba menghubungkan dengan keadaan manusia jaman sekarang.

Ya. Manusia jaman sekarang. Manusia-manusia yang sangat dimanjakan-sekali- dengan kesenangan. Kesenangan akan canggihnya teknologi. Kesenangan beragam makanan mulai dari homemade hingga cepat saji. Kesenangan beragam gaya berbusana mulai dari yang butuh banyak kain hingga yang hanya butuh kain sisa.

Bukannya berprasangka buruk, tapi mungkin saja manusia-manusia ini nantinya akan bernasib sama seperti para semut itu ‘kan?

Mereka terlalu senang dengan yang telah tersedia. Tanpa mau menelisik lebih jauh; bermanfaatkah itu bagi dirinya. Mereka terlalu puas dengan yang telah tersedia. Tanpa mau mencari tau lebih jauh; untuk apa mereka diberi kehidupan di dunia. Mereka terlalu menerima dengan yang telah tersedia. Tanpa mau mengingat kembali; bahwa ada kehidupan yang lebih hakiki setelah ini.

Ia mengerutkan kening. Membayangkan bagaimana jika seandainya manusia-manusia nanti benar-benar bernasib sama dengan para semut tadi. Benar-benar mati konyol karena tertimbun kesenangan-kesenangannya sendiri.

Intinya, manusia-manusia itu terlalu melupakan.

Terlalu melupakan bahwa umur mereka terbatas. Terlalu melupakan bahwa dunia hanya sebagai tempat singgah. Terlalu melupakan bahwa Tuhan tidak menciptakan mereka hanya untuk bersenang-senang saja. Terlalu melupakan bahwa untuk mendapat surga, harus ada pengorbanan-pengorbanan penuh luka.

Ia menggelengkan kepalanya. Berusaha menghalau semua kekhawatirannya tentang kehidupan manusia saat ini. Lagipula, punya andil apa dia untuk merubah semuanya?

Dengan segera ia memasukkan kembali gula yang tadinya ia tumpahkan kemudian menutup dan memastikan telah menutupnya dengan rapat. Agar para semut-semut itu tidak lagi masuk. Agar tidak ada lagi semut yang mati tertimbun gula.

Sambil berbisik di dalam hatinya,


Semoga manusia-manusia itu segera tersadar bahwa mereka tak lebih seperti semut-semut yang masuk ke dalam tempat gula. Berusaha sedemikian keras untuk mendapatkan kesenangan, padahal akhirnya hanya akan menyengsarakan.


"Semut mati karena gula, manusia binasa karena nafsunya."

Komentar

Postingan Populer